Minggu, 22 Juni 2014

ANALISIS CERITA PENDEK YANG BERJUDUL
“jawa, cina, Madura, nggak masalah, yang penting rasanya”

Aliran feminisme dalam sebuah karya sastra secara teknis menerapkan berbagai pendekatan yang ada dalam kritik sastra, namun ia melakukan reinterpretasi global terhadap semua pendekatan itu. Aliran feminisme bertujuan untuk mensetarakan gender antara laki-laki dan perempuan. Dalam sebuah karya sastra, penilaian terhadap teks-teks yang ditulis perempuan menjadi lebih adil dan proporsional.
Hal ini berpengaruh pula di dalam cara memandang, menilai, dan menetapkan kriteria-kriteria kesusastraan yang sesuai dengan pandangan feminisme. Dalam aliran feminisme, terdapat hal yang paling ditonjolkakn seperti pada ideologi dalam sebuah karya sastra serta menitik beratkan pada psiko-analisis, dimana  perempuan iri terhadap laki-laki karena kekuasaan yang dimilikinya.
Karya sastra dapat disebut sebagai berperspektif feminis jika ia mempertanyakan relasi jender yang timpang dan mempromosikan terciptanya tatanan sosial yang lebih seimbang antara perempuan dan laki-laki. Feminisme bukanlah monopoli perempuan, seperti patriarki bukanlah monopoli laki-laki.
Demikian dengan cerita pendek yang berjudul “Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya” karya M Shoim Anwar, meskipun tidak mendominasi, tapi aliran feminisme ikut mengalir dalam cerita pendek tersebut. Seperti dalam kutipan :

“Saya tidak dapat menolak, Setiap dia menghendaki saya harus memenuhinya.”

Meski kalimat diatas hanya kalimat dalam sebuah cerita pendek yang melengkapi jalannya cerita tapi didalamnya terdapat sebuah cerminan dari aliran feminisme yang sangat kuat yaitu pihak laki-laki merasa lebih lemah dari pada pihak perempuan, dan itu ada beberapa kemungkinan yang akan menjadi faktor perbedaan, seperti status sosial sebelum menikah, pekerjaan dan tingkat pendidikan. Sehingga pihak laki-laki hanya bisa pasrah menerima keadaan ketika si perempuan memerintahnya. Begitu pula yang terdapat dalam kutipan :

“Tiap hari kok melayani melulu dan selalu di bawah suami, sesekali aku di atas biar sedikit leluasa bergerak.”

Kalimat diatas lebih menunjukkan aliran feminisme lebih mengalir daripada kalimat sebelumnya. Hal itu mungkin disertai dengan adanya dorongan ingin menyetarakan hak antara pria dan perempuan yang selama ini seolah-olah perempuan tidak dihargai dalam pengambilan kesempatan dan keputusan dalam hidup. Perempuan merasa terkekang karena superioritas laki-laki dan perempuan hanya dianggap sebagai ”bumbu penyedap” dalam hidup laki-laki. Adanya pemikiran tersebut tampaknya sudah membudaya sehingga perempuan harus berjuang keras untuk menunjukkan eksistensi dirinya.

Dalam kutipan : “Kalau kurang kamu tambahi,” katanya sambil mengulur uang.
“Nambahi lagi?” saya ngedumel.

Menjelaskan bahwa posisi laki-laki benar-benar dlibawah dan tidak bisa memperjuangkan hak karena kekuasaannya, malah tertutupi dengan hak si perempuan yang harus di perjuangkan. Mungkin yang menjadi latar belakang aliran feminisme dalam cerita pendek karya M. Shoim Anwar adalah feminis radikal, dimana berpusat pada akar permasalahan yang menyebabkan kaum perempuan tertindas, yaitu seks dan gender, bukan aliran feminisme  sosialis dan Marxis, yang pertama memberikan intensitas pada gender,sedangkan yang kedua pada kelas, atau feminisme postmodernis, yang berarti gender dan ras tidak memiliki makna yang tetap, sehingga seolah-olah secara alamiah tidak ada laki-laki danperempuan.
Membaca sebagai wanita dengan menggunakan aliran feminisme berarti membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patrialkal, yang sampai sekarang masih menguasai penulisan dan pembacaan sastra.
Analisis cerpen yang berjudul “jawa, cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya” telah mencapai fokus dalam aliran feminisme meski hanya di awal saja, seperti kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam cerpen tersebut yang terdapat dalam kutipan :

“Jangan macam-macam, kurang apa aku?”
Serta didalam cerpen tersebut memperhatikan faktor pembaca sastra, bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi wanita dalam cerpen tersebut. Sehingga penulis membuat akhir cerita yang tidak diduga-duga oleh pembacanya.
Seharusnya dalam cerita pendek tersebut, pengarang mengadsurbkan gaya bahasanya sehingga para pembaca mampu berpikir sendiri makna yang terkandung dalam cerpen tersebut. Tentang akhir dari cerita itu sebenarnya menarik tapi gaya bahasanya seharusnya lebih di konotasikan agar pembaca dapat bermain dengan imajinasinya.

Erick. F
105200172

Tidak ada komentar:

Posting Komentar